Infoxpos.com – Bandar Lampung – Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, amat menyayangkan sikap dan pernyataan Ketua Majelis Hakim PN Sukadana, Diah Astuty, SH, MH, yang mengganggap sepele kesalahan-kesalahan informasi atau keterangan dalam BAP para saksi perkara dugaan perobohan papan bunga yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Sukadana itu. Menurut alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, setiap aparat penegak hukum, terutama hakim, harus patuh pada aturan apapun yang berlaku di masing-masing bidang aktivitas manusia.
“Di bidang kebahasaan, ada kaidah dan aturan berbahasa yang baik dan benar, tidak sembarangan dalam merangkai kalimat, apalagi dalam hal tulis-menulis. Di negara maju, jika dalam sebuah konsep tertulis, semisal surat permohonan, laporan harian, proposal, dan lainnya, terdapat lebih dari tiga kesalahan ketik, walau hanya salah penggunaan atau penempatan tanda baca, maka konsep tersebut langsung dibuang ke tong sampah,” kata lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, ini kepada jaringan media se nusantara via Sekretariat PPWI Nasional, Kamis, 26 Mei 2022.
Hal tersebut disampaikan tokoh pers nasional itu merespon pernyataan Diah Astuty yang dianggapnya tidak bijak dalam menanggapi pertanyaannya kepada saksi Wely Santana bin Hasan Efendi yang dihadirkan JPU Kejari Lampung Timur di persidangan Senin, 23 Mei 2022 lalu. Pada saat itu Wilson Lalengke mempertanyakan keterangan Wely Santana di BAP-nya yang menyatakan bahwa “saya menyuruh Syarifudin mendokumentasikan kegiatan para pelaku di dalam Polres”. Sementara Holili, saksi dari Polres Lampung Timur lainnya, mengatakan kalimat yang persis sama dengan itu di dalam BAP-nya. “Jadi, siapa sebenarnya yang menyuruh Syarifudin mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku, apakah Holili atau Wely Santana?” tanya Wilson Lalengke yang didudukan sebagai pesakitan dalam kasus tersebut. Namun Hakim Diah Astuty menganggap keterangan di BAP yang janggal itu hanya kesalahan ketik belaka.
“Hakimnya konyol benar dengan mengatakan itu tidak perlu dipertanyakan karena hanya kesalahan ketik saja. Negara ini dalam kondisi amat darurat hukum ketika para aparat hukumnya seia-sekata menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa. Dia tidak sadar bahwa akibat salah ketik seperti itu, ada orang teraniaya ditersangkakan, ditahan, disidangkan, dan divonis bersalah,” beber Wilson Lalengke yang mengaku tidak kuatir jika hakimnya tersinggung atas kritikannya itu dan menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup kepadanya.
Dalam hal-hal kecil saja, lanjut tokoh pers nasional yang getol membela warga yang terzolimi ini, kita tidak bisa patuhi aturan, bagaimana mungkin kita bisa berharap dapat menerapkan hukum dengan baik dan benar sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri? “Saya mencatat lebih dari 40 item dari BAP tujuh orang saksi yang sudah hadir di persidangan, yang janggal, keliru, tidak-singkron, kopi-paste, dan simpang-siur antara keterangan yang satu dengan keterangan lainnya. Belum termasuk kebohongan yang terungkap di persidangan, apakah Majelis Hakim akan mengatakan semua itu hanya kesalahan ketik atau kesalahan teknis belaka?” tambah Wilson Lalengke mempertanyakan pola pikir Majelis Hakim yang aneh itu.
Kita ke mesin ATM saja, kata dia menganalogikan kasus salah ketik, jika kita salah memencet satu angka saja dari PIN ATM, ATM-nya tidak bisa berfungsi. “Hanya satu angka atau huruf saja salah tekan, ATM tidak bisa dijalankan, tiga kali salah pencet satu huruf itu, ATM langsung terblokir dan kartunya ditelan mesin ATM. Ternyata ATM lebih patuh pada aturan hukum daripada mereka yang sudah belajar hukum bertahun-tahun,” sindir Wilson Lalengke.
Selanjutnya, pemimpin redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) dengan situs www.pewarta-indonesia.com itu memberikan contoh kesalahan yang terlihat sepele namun fatal. Dalam BAP Wiwik Sutinah binti Slamet poin ke-17, saksi korban pemilik papan bunga itu ditanyai penyidik: Adakah saudari masih tetap dengan keterangan saudari pada hari Selasa tanggal 11 Maret 2022? Jelaskan! Atas pertanyaan itu, Wiwik Sutinah menjawab: Iya saya masih tetap dengan keterangan saya pada hari Selasa tanggal 11 Maret 2022.
Waktu, menurutnya, merupakan unsur amat esensial dalam segala hal. Penyebutan hari dan tanggal yang keliru akan mendatangkan celaka bagi seseorang atau sejumlah orang.
“Dalam konteks BAP Wiwik Sutinah di atas itu, apakah hakim akan berpedoman pada nama hari, yakni Selasa, atau tanggal, yakni 11 Maret 2022? Apakah hakim boleh memilih di antara dua hal itu sesuka hatinya untuk penentuan waktu?” urai Wilson Lalengke mempertanyakan keabsahan sebuah informasi yang keliru dalam sebuah BAP.
Dalam dunia media massa dan publikasi, sambungnya, sebuah informasi pemberitaan dinilai valid jika memenuhi kaidah jurnalistik, yang salah satunya adalah keakuratan keterangan yang berisi siapa melakukan apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana peristiwanya. “Unsur 5W+1H (Who, What, Where, When, Why, dan How) itu harus lengkap dan akurat. Untuk itulah dibutuhkan verifikasi informasi, check and re-check, serta validasi informasi. Belum cukup sampai di situ, harus lagi melalui editing atau penyuntingan sebelum sebuah berita dipublikasikan. Tidak bisa main naik tayang saja, para pembaca bisa tersesat akibat informasi yang salah ketik. Semestinya ditulis korban, yang tertulis koran. Ini bukan hal sepele boss-qu,” papar Wilson Lalengke yang sudah melatih ribuan warga TNI, Polri, PNS, guru, dosen, mahasiswa, ormas, wartawan dan masyarakat umum di bidang jurnalistik itu menegaskan.
Sehubungan dengan persoalan yang dianggap sepele oleh Majelis Hakim PN Sukadana Lampung Timur atas berbagai kejanggalan yang dikatakan sebagai kesalahan pengetikan belaka, yang terjadi secara masif di BAP para saksi, Wilson Lalengke berharap agar Majelis Hakim dapat lebih bijaksana dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Mereka wajib hukumnya meneliti dan menelaah dengan cermat setiap informasi yang dituangkan dalam BAP dan fakta persidangan.
“Termasuk dokumen tertulis berbentuk keterangan di BAP secara keseluruhan, harus valid, akurat dan terverifikasi, tidak dibenarkan adanya pembiaran terhadap suatu kesalahan informasi dengan dalih salah ketik,” tegas alumni Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad-21. (TIM/Red)