HILANG NYA SABILAH KUJANG BERMATA LIMA,CERITA ORANG BADUY KANEKES

  • Bagikan
banner 468x60

INFOXPOS-LEBAK BANTEN-SETAHUN SEKALI PUUN YASIH diiringi baris kolot, orang-orang pilihannya, pergi ke Sasaka Pusaka Buana di Bukit Pamuntuan. Di sana ia memimpin mereka melakukan muja, yaitu pemujaan terhadap Tuhan nu kersa, yang berkuasa atas segala. Bukit Pamuntuan berada di hulu Sungai Ciujung, di selatan Kampung Cikeusik, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Namun, setiap kali muja tiba, ia merasa sedih. Para puun—pemimpin adat tertinggi—Cikeusik pendahulunya memanterai Sanghyang Kudi, kujang bermata lima yang menjadi bagian dari ritual muja, sedangkan ia belum pernah melakukannya sekalipun. Kujang itu dicuri lebih dari 30 tahun lalu sebelum ia menjadi puun. Dulu kujang pusaka tertancap pada batu di Arca Domas, tempat sakral dalam hutan larangan di bukit itu yang dipenuhi batu, termasuk batu-batu yang menyerupai hewan di bumi.

banner 336x280

Di Arca Domas juga terdapat Lemah Bodas, yang dipercaya orang-orang Kanekes (Baduy Dalam dan Baduy Luar) sebagai satu-satunya tempat dewa-dewi turun dari kahyangan. Jukut komala atau lumut tebal yang menyerupai bentuk Semar atau Batara Manikmaya tumbuh di situ.

Setiap tahun, salah seorang pilihan Puun Cikeusik yang turut muja di Arca Domas meninggal dunia. Ia kembali kepada Tuhan nu kersa.

Tempat ini sakral, tetapi tidak luput dari tangan-tangan jahat. Tidak hanya sekali pusaka keagamaan di Arca Domas hilang. Pada awal 1980-an, sebuah cawan pusaka dan tutupnya dicuri. Pada akhir 1989, kujang pusaka mengalami nasib serupa. Pelakunya orang yang sama.

“Orang Jawa, perawakannya tinggi, berilmu tinggi, rambutnya beruban, gondrong. Sekarang dia sudah meninggal dunia. Kematiannya karena usia. (Jelema wetan, awakna jangkung, elmuna gagah, buuk kulawu, ngarenghap. Ayeuna tos maot, ripuh sabab parantos sepuh),” kata Puun Yasih, menjawab pertanyaan saya pada 20 Agustus 2020.

Usia Puun Yasih sekitar 95 tahun. Rambutnya putih panjang digelung. Ia mengenakan iket, penutup kepala khas Sunda, berwarna putih.

Majalah Tempo edisi 20 Januari 1990 menerbitkan berita pertama kali tentang hilangnya kujang pusaka di Arca Domas, dengan judul Kujang Lenyap, Bencana Datang. Pihak kepolisian Rangkasbitung yang mengetahui kabar pencurian waktu itu anehnya tidak menindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan.

Saat cawan pusaka hilang, orang Baduy sudah merasa akan terjadi malapetaka. Kebakaran di kampung Cibeo, Sungai Ciujung meluap dan banjir yang melanda sesudahnya dipercaya sebagai akibat.

Pada 1982, antropolog Judistira Garna mewawancarai Ki Jalceu, narasumbernya yang mengatakan pencurian cawan Sanghyang Pakombaan membuat orang-orang Kanekes merasa gagal mengemban amanat. Benda pusaka itu titipan dari Ratu Banten. Dalam Bahasa Sunda, Bahasa Jawa dan Bahasa Lampung, ratu artinya raja. Ki Jalceu pernah menjabat Puun Cikartawarna.

Kujang yang hilang makin meresahkan orang Baduy. Kujang tidak hanya pelindung dari bencana, tetapi juga simbol ilmu pengetahuan, pewarisan budaya berladang, dan petunjuk hidup langsung dari dewa.

Aksi pencurian benda ibadah dianggap telah mencapai puncak dengan hilangnya kujang. Puun Sadi, pendahulu Puun Yasih, segera mengutus sembilan orang untuk mencari pusaka-pusaka suci itu. Sebagai Puun Cikeusik, ia memegang otoritas tertinggi keagamaan dan hukum Kanekes. Pasukan sembilan (baresan salapan) ini berjalan kaki dari Banten ke sejumlah kota di Jawa Barat hingga akhirnya sampai di Jakarta. Mereka kemudian berhenti di muka rumah dinas seorang jenderal yang dijaga ketat. Mereka ingin bertemu tuan rumah, tetapi terhalang masuk.

Pencuri berilmu tinggi hanyalah orang bayaran. Ia menyerahkan benda-benda curiannya kepada pemberi perintah. Ketika kasus pembantaian Talangsari di Lampung pada 7 Februari 1989, pemberi perintah ini sudah berpangkat jenderal.

ORANG-ORANG BADUY percaya pemilik kujang itu Batara Patanjala, leluhur mereka. Namanya tidak tercatat dalam buku sejarah. Tetapi, banyak hal tidak tercatat dalam buku sejarah.

Berdasarkan Carita Lutung Kasarung, naskah sastra yang dipandang suci, Batara Guruminda Kahyangan turun ke Buana Panca Tengah dalam wujud seekor lutung hitam besar untuk mengajarkan adat berladang atau berhuma kepada manusia, meliputi tata cara, aturan, dan ritualnya. Ia menancapkan sebilah kujang bermata lima atau Sanghyang Kudi pada sebongkah batu di Bukit Pamuntuan. Setelah berada di bumi, Batara Guruminda Kahyangan atau Lutung Kasarung mengubah namanya menjadi Batara Patanjala.

Dalam Pantun Lutung Kasarung versi Kanekes, sastra lisan yang dilafalkan dengan diiringi tarawangsa (sejenis alat musik gesek), tiap kali ritual permulaan berladang, lutung dari kahyangan itu bernama Guruminda Patanjala. Tujuan ritual untuk menurunkan Pohaci Sanghyang Asri dari kahyangan yang akan berwujud padi sakral untuk ditanam. Tradisi bersawah di Jawa memiliki Pohacinya sendiri, yaitu Dewi Sri, sumber pangan kehidupan sekaligus dewi terpenting. Puun Cikeusik menetapkan awal berladang di Cikeusik, Cibeo, dan Cikartawarna.

Belum ada yang mengetahui usia pasti kujang Batara Patanjala. Namun, sebagian orang memperkirakan ia jauh lebih tua dari Kerajaan Banten yang telah dikenal dunia luar pada abad ke-10 Masehi.

Di upacara narawas atau pembukaan lahan untuk ditanami padi pada bulan kapat dalam penanggalan Baduy, kujang menjadi alat pertanian yang ditetapkan hukum adat. Terlarang (buyut) menggunakan alat-alat lain.

Naskah Bujangga Manik turut merekam sosok Batara Patanjala. Tokoh cerita dalam naskah ini tiba di Bukit Bulitsir yang disebut tempat suci untuk mengenang Raja Patanjala. Letaknya diperkirakan di hutan larangan di Bukit Pamuntuan. Naskah Bujangga Manik ditulis pada akhir abad ke-15, mengisahkan perjalanan ziarah seorang pendeta-penyair ke sejumlah tempat di Jawa dan Bali. Ia pangeran yang meninggalkan kehidupan masa lalunya di Istana Pakuan Pajajaran. Naskah ini juga mengisahkan Kerajaan Demak sudah ada dan Kerajaan Majapahit masih kuat.

ADA TIGA JENIS ritual atau ziarah orang Baduy yang masing-masing dilakukan pada tempat dan waktu berbeda:

Pertama, ziarah ke Gunung Sorokokod sebelum kawalu tutug atau kawalu akhir dalam penanggalan Baduy. Di gunung ini tidak ada pusaka suci. Ziarah bertujuan meminta para guriang, para sanghyang, dan makhluk-makhluk halus agar turut membantu ketertiban dan keamanan.

Kedua, ziarah di Sasaka Domas Mandala Parahyang di hutan larangan sebelah selatan Kampung Cibeo, di hulu Sungai Ciparahyang. Doa dipimpin Puun Cibeo dan dilakukan pada kawalu tutug atau bulan katiga penanggalan Baduy.

Di Sasaka Domas ada makam para karuhun, benda-benda pusaka Pakuan Pajajaran, dan menurut kepercayaan orang Baduy, tempat Batara Cikal moksa. Batara Cikal adalah kakak Batara Patanjala. Ia dikisahkan turun di Sasaka Pusaka Buana, tapi menghilang atau moksa di Sasaka Domas. Puun-puun yang tutup usia pun dikuburkan di Sasaka Domas.

Hampir 450 tahun lalu, batu-batu leluhur Kerajaan Pakuan Pajajaran dipindahkan para ponggawa (pejabat tinggi) istana ke tempat ini. Pemindahan dilakukan oleh dua rombongan. Rombongan pertama dipimpin tiga serangkai: Demang Haur Tangtu, Puun Buluh Paneuh, dan Guru Alas Lintang Kendesan. Rombongan kedua dipimpin putra mahkota Pakuan Pajajaran, Rahyang Santang Aria Cakrabuwana. Prabu Ragamulya Suryakencana, raja terakhir Pakuan Pajajaran, memerintahkan operasi khusus tersebut. Setelah itu ia menghilang. Ia tidak dibunuh di Pulosari oleh Sultan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten seperti dalam versi sejarah yang banyak beredar.

Pulosari adalah tempat pertapaan di Gunung Pulosari, bukan lokasi pertempuran ataupun sebuah kota. Kerajaan Banten (dikenal pada abad ke-10 dan berakhir dengan berdirinya Kesultanan Banten pada 1526) membangun candi Hindu-Siwa dan pertapaan di Gunung Pulosari, yang juga dinamai Gunung Kailasa. Delapan ratus resi pertapa di Pulosari disebut Ajar Domas. Sejarawan dan arkeolog Perancis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII (2008) menulis Kerajaan Banten adalah kerajaan Sunda sebelum Kerajaan Pakuan Pajajaran.

Meskipun pertempuran pasukan Kesultanan Banten dengan pasukan Pakuan Pajajaran terjadi beberapa kali akibat dinamika politik waktu itu, ada kesepakatan tidak tertulis bahwa raja tidak boleh membunuh sesama raja dalam medan perang. Maulana Yusuf dan Suryakencana masih memiliki pertalian darah melalui Raja Pakuan Pajajaran terdahulu, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Suryakencana kemudian diketahui bertapa di hutan Gunung Halimun. Ia melakukan tapa drawa, yaitu bertapa sampai hilang jasadnya, tinggal rambut dan kuku. Dalam naskah akhir abad ke-16, Carita Parahiyangan, ia disebut Nusiya Mulya dan dikisahkan Pakuan Pajajaran runtuh akibat gempuran Kesultanan Banten—detail peristiwa terakhir ini tertera dalam naskah Sadjarah Banten.

Peninggalan Pakuan Pajajaran paling sakral adalah Hanjuang Bodas, tanaman berwarna putih menyerupai palem. Tanaman ini dianggap azimat dari Tuhan. Ia dapat berpindah-pindah tempat. Serbuk akarnya membuat manusia kebal segala jenis senjata, dapat bernapas dalam air, dan tidak dapat terlihat jin maupun manusia.

Ketiga, pemujaan di Arca Domas pada tanggal 16, 17, 18 bulan kalima penanggalan Baduy. Arca Domas terletak di Sasaka Pusaka Buana di dalam hutan larangan sebelah selatan Kampung Cikeusik, di hulu Sungai Ciujung.

Muja di situs keagamaan ini dipimpin Puun Cikeusik. Ia menentukan siapa saja yang boleh ikut muja. Dalam Bahasa Latin, posisi Puun Cikeusik di antara dua puun lain disebut primus interpares; artinya, yang terpenting dan diutamakan dari yang setara.

Di Arca Domas, Sanghyang Kudi atau kujang bermata lima pernah berada.

Pemujaan kepada Tuhan nu kersa di Arca Domas merupakan inti paling sakral dari agama orang-orang Baduy.

AWALNYA SEMUA ORANG Baduy tinggal dalam kampung yang kelak dikenal sebutan Baduy Dalam. Ketika seseorang lalai atau melanggar aturan dan adat, termasuk berkompromi dengan perkembangan dunia modern, ia akan diminta meninggalkan Baduy Dalam. Permukiman baru yang dibangun orang seperti ini dinamai kampung panamping atau kampung Baduy Luar.

Tidak ada puun di Baduy Luar. Para puun hanya ada di Baduy Dalam. Mereka pemimpin adat untuk Baduy Dalam dan Baduy Luar, orang-orang Kanekes.

Ada tiga kampung di Baduy Dalam, yaitu Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik. Baduy Luar sekarang meliputi 65 kampung.

Puun Cikartawarna tidak memiliki kekuasaan seperti Puun Cibeo dan Puun Cikeusik. Ia hanya berwenang terhadap urusan kesenian, kebatinan, pengobatan, dan pertahanan. Ia tidak berhak memimpin upacara-upacara ritual, seperti ke Sasaka Domas dan Arca Domas. Tetapi, ia wajib memimpin rakyatnya memulai berladang di huma serang, yang bisa berubah-ubah tempatnya, di tanah yang ditentukannya dalam lingkungan Kampung Cikartawarna.

Dalam upacara-upacara ritual, Puun Cikartawarna bisa ikut Puun Cikeusik atau Puun Cibeo. Puun Cikartawarna adalah keturunan Daleum Lagondi, anak kedua dari Batara Patanjala. Puun Cikeusik adalah keturunan Daleum Janggala, anak tertua dari Batara Patanjala. Puun Cibeo keturunan Daleum Putih Sedah Hurip, anak ketiga Batara Patanjala.

KEHIDUPAN ORANG BADUY Dalam tidak hanya menyatu dengan alam, menjaga dan merawatnya, tetapi diliputi kegaiban dan keajaiban yang disediakan semesta.

Puun Yasih teringat peristiwa di masa pendudukan Jepang. Tentara-tentara Jepang telah merampas padi yang disimpan di lumbung (leuit) di kampung Baduy Luar. Sejumlah orang Baduy Luar yang berhasil mencapai Baduy Dalam melapor kepada puun-puun yang menjabat waktu itu tentang apa yang terjadi.

Orang-orang kampung ketakutan. Mereka belum pernah mengalami penyerangan seperti itu. Di masa kolonial Belanda, mereka tidak pernah diganggu. Puun Cikeusik ketika itu adalah Puun Kais.

Puun Yasih turut menyaksikan ketegangan dan persiapan dalam kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung untuk menghadapi bala tentara Jepang. Ia mengisahkan upaya para kokolot (sesepuh) Cikeusik membangunkan Mahewa, kokolot yang sedang tidur di sebuah gua.

Mahewa pun bangun dari tidurnya. Ia berjalan keluar dari gua dan langsung bertanya, “Hari ini kiamat (Poe ayeuna kiamat)?”

Setelah mendapatkan penjelasan tentang ada ancaman terhadap kampung mereka, Mahewa pergi mengambil segenggam merang lalu berjalan keluar kampung untuk menyambut pasukan Jepang. Dengan segenggam merang, ia membuat pasukan Nippon lari terbirit-birit, tidak kembali lagi.

Sehari-hari Mahewa sering menjunjung batu besar di kepalanya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk tidur.

Setelah menyelesaikan tugas, Mahewa kembali ke gua untuk melanjutkan tidur dan berpesan ia hanya boleh dibangunkan bila terjadi perang. Sejak saat itu ia tidak pernah lagi keluar dari gua.

DI MASA PUUN YASIH masih berusia belasan dan Mahewa melawan tentara-tentara Jepang dengan segenggam merang di Cikeusik, Tan Malaka menggunakan nama samaran Ilyas Hussein untuk bekerja sebagai juru tulis romusha di Bayah, yang terletak di Banten Selatan sebagaimana kampung-kampung adat orang Baduy.

Bayah adalah lokasi romusha terbesar di Pulau Jawa. Di Bayah terdapat penambangan batu bara dan pembangunan jalan kereta api dari Bayah (kini masuk Kabupaten Lebak) ke Saketi (kini masuk Kabupaten Pandeglang).

Tan Malaka menginjakkan kaki di Bayah pada Juni 1943. Ia menulis dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara, bahwa sekitar 90.000 rakyat tewas selama pembangunan jalan kereta api dari Bayah ke Saketi. Pada hari-hari tertentu, di puncak kelaparan dan penyiksaan pada 1944, ia mencatat romusha yang meninggal dunia per hari mencapai 500 orang.

Suatu hari, September 1944, Sukarno datang ke Bayah untuk memaksa romusha bekerja lebih keras menggali batubara untuk tentara Jepang. Sukarno berkata romusha harus bekerja lebih keras menggali batubara karena Jepang telah menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dan Jepang akan mengalahkan Sekutu dalam perang.

Ilyas Hussein atau Tan Malaka dalam penyamaran mendebat Sukarno dengan berkata, “Bangsa Indonesia akan lebih kuasa dan habis-habisan bukan memperjuangkan janji kemerdekaan, tapi untuk memperjuangkan kemerdekaan yang ada.”

Sukarno terdiam. Ia tersinggung. Baru pertama kali ia dibantah orang dan itu terjadi di Bayah. Ia tidak tahu tengah berhadapan dengan Tan Malaka. Ia mengira berhadapan dengan orang kampung biasa.
(Pares Adhara)

banner 336x280
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *